Senin, 09 Mei 2011

JAMAN EDAN




Menangi jaman edan,
ewuh aya ing pambudi,
melu edan nora tahan,
Yen tan melu anglakoni,
boya keduman melik,
kaliren wekasanipun.
ndilalah kersaning Allah,
begja-begjane kang lali,
luwih begja kang eling
lan waspada.

Terjemahan bebasnya :
Menghadapi zaman gila,
suasana memang menjadi sulit.
Ikut edan sering tidak tahan,
tetapi kalau tak ikut melakukan,
lenyaplah segala kemungkinan
dan yang terjadi justru kesengsaraan
Untungnya, sudah menjadi kehendak Allah
sebahagia bahagianya mereka yang lupa,
lebih berbahagia mereka yang ingat dan waspada.

Pupuh ( bait) ke tujuh dari tembang sinom “Serat Kalatida” ( Masa Suram) karya Ronggo Warsito.
Ditulis pada masa bertahtanya Pakubuwono IX ( 1861-1894)
Raden Ngabehi Ronggowarsito III dilahirkan di Kampung Pasar Kliwon sisi timur diluar tembok Keraton Surakarta, dengan nama Bagus Burhan pada tangal 14 Maret 1802 dan hidup melalui masa pemerintahan tak kurang dari 17 gubernur jenderal Hindia Belanda mulai dari Joannes Siberg hingga James Loudon disaat meninggalnya pada tanggal 24 Desember 1874. Hidupnya juga meliputi zaman bertahtanya Raja Pakubuwono IV hingga Pakubuwono IX di Kasunanan Surakarta.
Ronggowarsito III adalah sebuah nama kehormatan. Ayahnya, Mas Pujangswara, keturunan Sultan Pajang,adalah Ronggowarsito II putra dari Yosodipuro II , pujangga resmi dari kasunanan Surakarta dan disebut juga sebagai Ronggowarsito I dan dikenal juga sebagai Tumenggung Sastronegoro. Sementara ibu kandung bagus Burhan adalah keturunan Sultan Kediri.
Ronggowarsito III sempat mengenyam pendidikan di pesantren Gerbang Tinatar di desa Tegal sari di Ponorogo Jawa Timur dibawah pimpinan Kiyai Hasan Imam Bestari sebelum mengawali karier keistanaannya sebagai Carik atau juru tulis istana pada usia 17 tahun ( 28 Oktober 1819). Bakat dan keterampilan menulisnya membawa dia ke kedudukan sebagai Panewu Carik Kadipaten Anom ( Kepala Juru Tulis Muda Kedipatian ) menggantikan ayahnya Ronggo Warsito II yang tewas dipenjara Belandapada tahun 1830, dan mendapat panggilan Mas Pajang Anom dan dianugerahi gelar Raden Ngabehi oleh Susuhunan Pakubuwono IV. Pada usia 43 tahun dibulan September 1845 dia diangkat menjadi Pujangga resmi Keraton Surakarta oleh Susuhunan Pakubuwono VII menggantikan posisi kakeknya Ronggo Warsito I( Yosodipuro II).
Masa hidup Ronggowarsito III juga dipenuhi oleh gejolak dunia yang tercatat dalam buku buku sejarah, mulai dari ofensif Napoleon Bonaparte di Eropah (1802-1815), restorasi Meiji di Jepang (1866) , perang Prusia- Perancis (1870-1871) dan Perang Saudara di Amerika ( 1861-1865) hingga dirumuskannya Manifesto Komunis oleh Karl Marx (1848) dan juga jatuhnya Belanda sendiri ke tangan Perancis ( 1804).
Di Jawa sendiri tak kurang gejolak gejolak yang diakibatkan oleh diterapkannya Tanam Paksa oleh gubernur jenderal Van den Bosch (1829-1872) yang berbuah Perang Diponegoro ( 1825-1830) dan berawalnya Perang Aceh (1873) atas perintah gubernur jenderal James Loudon. Juga serbuan Raffles ke Yogyakarta ( 1812) dan meletusnya Gunung Tambora di pulau Sumbawa ( 1815). Tapi yang paling mengerikan adalah terjadinya bencana kelaparan di pulau Jawa ( 1840-1848) akibat langsung dari tanam paksa yang memakan korban 250.000 orang Jawa.
Seolah gejolak gejolak itu merasuk dalam karya karyanya seperti salah satunya yang tertulis diatas dan karya karya lain dari Ronggo Warsito III baik dalam bentuk tembang macapatan maupun prosa biasa adalah : Maha Parwa, Purwapada, Saba Loka, Maha Dewa, Maha Resi yang semua dirangkum dalam kitab “Pustoko Rojo”, walau yang belakang ini dinilai oleh Prof.Dr. Purbotjaroko dalam bukunya “ Kepustakaan Jawa” sebagai tidak pernah sepenuhnya eksis .
Karya lainnya adalah : Bambang Dwi Hasta: Cariyos Ringgit Purwa, Sapta Dharma, Serat Aji Pamasa, Serat Candra Rini, Serat Cemporet, Serat Jayengbaya, Serat paniti Sastra, Serat Panji jayeng Tilam, Serat Parama sastra , Serat Parama Yoga, Serat Pawarsakan, Suluk Saloka Jiwa, Serat wedaraga, Serat Witaradya, Sri Kresna Barata, Wirid Hidayat Jati ,Wirid Ma’lumat Jati, Serat Sabda Jati.
Bersama seorang penulis Belanda CF Winters Sr. dia menulis Bausastra Kawi atau Kamus Kawi-Jawa dan kamus Jawa – Belanda.
Ronggo Warsito III juga menulis “ Sejarah Pandhawa lan Korawa: Miturut Mahabharata” juga bersama CF Winters Sr.
Tak pelak lagi bahwa karyanya yang terkenal adalah kitab Kala Tida ini walau sebenarnya ada karya tulis lainnya yang berwarna sama namun kurang dikenal : “ Joko Lodang” yang menyoroti orang orang yang munafik seperti tercermin dalam kata katanya:
Wong alim-alim pulasan, njaba putih njero kuning,
yang artinya : Orang orang yang kealimannya cuma pulasan, diluar putih didalam kuning.
Kritik sosial dalam karya Ronggo Warsito III ini sepertinya berakar dari karya kakeknya Yosodipuro II alias Ronggo Warsito I dalam karyanya “Kitab Wicoro Keras” yang kutipannya antara lain :
Ojo dumeh wong gede
Ngaku turun Brawijoyo , ora sakti
Ngaku anak pandito ora betah ngeleh
Ngaku anak pujonggo ora weruh po siji
Ngaku anak sujono nalare liwar
Ngaku anak ngulomo ora bisa ngaji
Ngaku anak cino ora kucir
Ngaku anak santri ora biso Kul-hu
Terjemahannya:
Jangan mentang-mentang orang besar
Mengaku keturunan Brawijaya tidak sakti
Mengaku anak pendeta tidak tahan lapar
Mengaku putra pujangga tidak bisa baca tulis
Mengaku anak cendekiawan nalarnya kabur
Mengaku anak ulama tak bias ngaji
Mengaku anak Cina rambutnya tak berkucir
Mengaku santri tidak hafal Kul-hu ( surat Al Ikhlas)
Kembali ke Ronggo Warsito III, pada tahun 1855 kembali bersama CF Winters Sr. beliau diajak untuk membantu penerbitan Surat kabar mingguan “Bromartani” yang sempat terbit selama setahun.
Ronggo Warsito III juga diangkat cucu oleh Panembahan Buminoto adik kandung Pakubuwono IV dan karena Panembahan Buminoto ini pernah mendesak Susuhunan Pakubuwono V ( 1820-1823) untuk mempromosikan Bagus Burhan, hubungan Ronggo Warsito III dengan sang raja tidaklah begitu baik. Hubungan yang tidak baik ini juga terjadi dengan Pakubuwono IX yang menganggap ayah Ronggo warsito III , Yosodipuro II mengungkapkan hubungan Pakubuwono VI , ayah Pakubuwono IX, dengan pemberontakan Pangeran Diponegoro, padahal menurut catatan sejarah, ayah Ronggowarsito III alias Pajangswaraini tetap bungkam hingga tewasnya walau disiksa oleh Belanda yang menginginkan kesaksiannya atas dukungan Pakubuwono VI pada pangeran Diponegoro. Gagal mendapatkan pengakuan ini Belanda mengambil kesimpulan sepihak seolah Pakubuwono VI bersalah dan membuangnya ke Ambon pada tahun 1830.
Hanya dengan Susuhunan Pakubuwono VII, Ronggo warsito III mengenyam hubungan yang harmonis.Dengan Pakubuwono VIII dan pakubuwono IX hubungannya juga bermasalah.
Raden Ngabehi Ronggowarsito alias Bagus Burhan meninggal pada hari Rabu Pon pada tanggal 24 Desember 1873 dan dimakamkan di Desa Trucuk Kabupaten Klaten. Selama hidupnya dia diasuh dan dilayani oleh pengasuh setia Ki Tanujoyo. Sementara sebagian besar naskah asli karya karya pujangga ini disimpan di Museum Radya Pustaka di kota Surakarta sekarang.
Sumber :
-Fokus Peristiwa Pekan Ini di harian KOMPAS 17 januari 1988 oleh P.S.
-Artikel “Kapan, Zaman Edannya Ronggowarsito?” oleh Julius Pour di harian KOMPAS Senin 17 April 1995
-http://id.wikipedia.org/wiki/Rangga_Warsita
Bacaan lanjut:
-“Raden Ngabehi Ronggowarsito, Apa yang Terjadi? Oleh Andjar Any 1980, Aneka Ilmu Semarang.
- “Rahasia Ramalan Jayabaya, Ranggawarsita dan Sabda Palon “ oleh Andjar Any 1979, Aneka Ilmu, Semarang
-“ Sejarah Indonesia Modern” oleh M.C. Ricklefs 1991 ( terjemahan) Gajah mada University Press, Yogyakarta
-“Kepustakaan Jawa” oleh Prof Dr. Purbotjaroko.

Tidak ada komentar: