Rabu, 26 September 2012

IMLAS AKU TERKENang



Imlas, kuingat  'tika kita berwang jalan2 dilarut kota
nonton film kocak dengar lelucon abang becak, tawamu bersih dusta
bebas dari tumpu duka kemarin, sergapan ketakutan besok tiba.

Hidup ini apa, diisi apa, sementara kalender sobek2 Juga?
Kau Imlas burungmadu kecil meratai bunga2
terbang cepat, pergi cepat, sarang menumpang, tiada apa miliknya
tahu segala lambat cepat lalu semua, gugur2 lepas semua.

Begitu bila kapal berlayar tiada kau biarkan punya pangkalan
 kerna gugur2 pula tebingnya, gadis2 dan cinta mati usang pula.

Lari sepanjang hari diburu tenagagugur takut punya apa2
kenangan keparahan kehilangan membawa kehidup iseng2
tercita didasar hati kekosongan keguguran itu sendiri.

Kau tolak kesungguhan kesetiaan dalam lelucon bangun pagi
kau Imlas bisa mati muda juga ini bukan dusta.

W.S Rendra

dari Majalah Bulanan SENI  no.1 tahun 1 Januari 1955

Rabu, 25 Januari 2012

KUINGAT PADAMU



Ipih H.R>

Kuingat padamu bila fajar,
Merahkan langit sebelah timur,
Kuingat padamu bila senja,
Mencium bunga yang kan tidur.

Kuingat padamu bila malam,
Sepi berbunga bintang bercaya,
Kuingat padamu bila bulan,
Teduh benderang purnama raya.

Kuingat padamu, akh, selalu,
Sampaikan aku nurut kau pula,
Baringkan badan di pangkuan bumi,
Tempat segala menjadi lupa.

Dari: Pujangga Baru









IPIH, H.R. ATAU ASMARA HADI
Terlahir dengan nama Abdul hadi di Talo (Bengkulu) 8 September 1914.
Masuk H.I.S. di Bengkulu, sudah itu berguru di Openbare Mulo di Jakarta dan Bandung dan kemudian Mulo Taman Siswa di Bandung. Menjadi guru dan bekerja untuk majalah Fikiran Rakyat. Lebih dari setahun ikut Ir. Sukarno di Endeh. Bekerja pada majalah Pembangun, Jakarta dan semasa Jepang sering menulis dalam surat kabar Asia Raya. Jakarta.  Menjadi Kepala Redaksi Harian Fikiran Rakyat (Bandung).

Karangan: Dibelakang Kawat Berduri (1941), Pemandangan (1942). Sajaknya termuat terutama dalam Fikiran Rakyat, Panji Pustaka. Pujangga Baru, dan bebearpa terbitan lainnya. Nama samaran lain ialah: Hadi Ratna, A. Hadi.
Sajak yang ditulisnya mengenai hal percintaan merdu bahasanya, selalu bersedih seperti orang yang rusak kehilangan yang tidak dapat diganti lagi. Sebaliknya sajak kebangsaan dan sajak perjuangannya gembira ber-nyala2, memakai perbandingan yang megah.


sumber: Puisi Baru, Sultan Takdir Alisjahbana